Pengertian kota
secara sosiologis didefinisikan sebagai tempat pemukiman yang relatif besar,
berpenduduk padat dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial
heterogen ( De Goede, dalam Sarlito 1992: 40). Di sisi lain, Bintarto (1989:34)
menyatakan bahwa dari segi geografis, kota
dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai
dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi
yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Menurut ketentuan formal
seperti yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun
1987, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kota adalah pusat permukiman dan
kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak
dan ciri kehidupan kota.
Selanjutnya Max Weber dalam Sarlito (1992: 21) mengemukakan ciri-ciri
khas suatu kota
sebagai berikut.
1.Ada batas-batas kota yang tegas
2.Mempunyai pasar
3.Ada pengadilan sendiri
dan mempunyai undang-undang yang khusus berlaku bagi kota itu, disamping undang-undang yang berlaku
lebih umum.
4.Terdapat berbagai bentuk perkumpulan dalam masyarakat
yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat di kota itu sendiri.
5.Masyarakatnya mempunyai otonomi tertentu dengan adanya
hak mereka untuk memilih walikota dan anggota-anggota dewan kota.
Dari ungkapan di atas bisa dibuat suatu batasan yang lebih khusus, bahwa
suatu kota
merupakan :
1.Tempat pusat pemukiman dan kegiatan penduduk
2.Tempat dengan kepadatan penduduk tinggi
3.Mempunyai watak dan corak heterogen
4.Mempunyai ciri khas kehidupan kota.
5.Mempunyai batas wilayah administrasi
6.Mempunyai hak otonomi
Kota
menurut hirarkhi besarannya menurut NUDS (National
Urban Development Strategy),(1985) dapat diamati melalui jumlah penduduk
yang tinggal dan beraktivitas dikawasan tersebut, yang menurut sumber tersebut
bisa dibagi dalam 5 tingkatan:
1.Kota Metropolitan, penduduk> 1.000.000
2.Kota Besar, penduduk 500.000 – 1.000.000
3.Kota Menengah, penduduk 100.000 – 500.000
4.Kota
Kecil A, penduduk 50.000 – 100.000
5.Kota Kecil B, penduduk 20.000 – 50.000
Dari pengertian-pengertian, batasan dan hirarkhi tersebut terlihat bahwa kota dengan berbagai
heterogenitasnya, menyimpan berbagi permasalahan, yang di antaranya seperti
yang diungkapkan oleh Sarlito (1992: 22):
Pada umumnya kota
diasosiasikan dengan pengangguran, kemiskinan, polusi, kebisingan, ketegangan
mental, kriminalitas, kenakalan remaja, seksualitas dan sebagainya. Bukan hanya
dalam hal lingkungan fisik kota
itu saja yang tidak menyenangkan tetapi juga dalam lingkungan sosialnya.
Selanjutnya Bintarto (1989: 36) mengatakan bahwa kemunduran lingkungan kota yang juga dikenal dengan istilah “Urban Environment Degradation” pada saat ini sudah meluas di
berbagai kota di dunia, sedangkan di beberapa kota di Indonesia
sudah nampak adanya gejala yang membahayakan. Kemunduran atau kerusakan
lingkungan kota
tersebut dapat dilihat dari dua aspek:
1.Dari aspek fisis, (environmental
degradation of physical nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan dari unsur-unsur
alam, misalnya pencemaran air, udara dan seterusnya.
2.Dari aspek sosial-masyarakat (environmental degradation of societal nature), yaitu gangguan yang
ditimbulkan oleh manusianya sendiri yang menimbulkan kehidupan yang tidak
tenang, tidak nyaman dan tidak tenteram.
Di samping kenyataan tersebut, kehidupan kota yang selalu dinamis
berkembang dengan segala fasilitasnya yang serba gemerlapan, lengkap dan
menarik serta “menjanjikan” tetap saja menjadi suatu “pull factor” yang menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian
orang-orang yang akan mengadu nasib di kota
harus mempunyai starategi, yaitu: bagaimana bisa memanfaatkan dan menikmati
segala fasilitas yang serba menjanjikan tersebut namun juga bisa mengatasi
tantangan dan permasalahan yang ada di dalamnya.
Hal di atas sesuai dengan pernyataan Sarlito (1992: 46) bahwa penyebab
utama terjadinya perkembangan kota
adalah berkembangnya kehidupan industri di dalamnya. Konotasi “kehidupan
industri” adalah dibutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Hal inilah yang
banyak memberi dan mewarnai harapan orang untuk selalu mencari kehidupan di kota. Berkaitan dengan hal
tersebut, perlu dicatat pendapat Schoori (1980), bahwa ada satu ciri sentral
dari kehidupan masyarakat industri, yaitu sumber kekuatannya yang bersendi pada
penemuan dan pemanfaatan sumber energi baru yang diperoleh dalam jumlah
terbatas, yang memaksanya untuk melakukan pekerjaan secara besar-besaran. Makna
yang terkandung dari ungkapan tersebut adalah adanya pekerjaan dalam skala
besar (mass product) yang tentunya membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, dan
adanya iklim persaingan yang cukup tinggi
Posting Komentar