Efek Rumah Kaca |
Kekhawatiran akan meningkatnya emisi CO2 yang mempercepat laju pemanasan bumi yang antara lain mengakibatkan naiknya permukaan laut sehingga sebagian besar pantai dunia akan tergenang. Konferensi Tingkat Tinggi Dunia di Rio de Jenairo, Brazil pada bulan Juni 1992 mengeluarkan pernyataan yang lebih dikenal sebagai Agenda 21 bahwa seluruh dunia bersepakat untuk mengurangi emisi CO2 negara-negara industri pada tahun 2000 harus sama dengan tahun 1990, sedangkan pada negara berkembang baru diberlakukan tahun 2010.
Perubahan iklim akan terjadi secara mendadak yang sering tidak dapat dimonitor sebelumnya, akibat yang mendadak ini justru mengakibatkan tingkat fisologis kita tidak dapat melakukan adaptasi, vegetasi tundra akan hilang, hutan akan berkurang serta padang rumput dan gurun akan bertambah luas. Laju penguapan air akan terus meningkat oleh karena itul engas tanah akan turun. Evaporasi terus meningkat sehingga air tanah makin lama makin kering. Menurut teori setiap kenaikan 30 C pada permukaan bumi mengakibatkan tumbuh-tumbuhan dan hewan harus beremigrasi ke daerah lain, yaitu bergeser 250 km ke arah kutub yang lebih dingin atau naik 500 m ke arah puncak gunung untuk mendapatkansuhu yang sama dengan sebelumnya. Tidak setiap hewan atau tumbuhan mempunyai kemampuan emigrasi seperti ini, berarti ada sejumlah speciesyang musnah.
Kekhawatiran masyarakat bumi bahwa perubahan iklim global akan membawa dampak dahsyat telah tumbuh dengan cepat, ditandai antara lain dengan dibentuknya Badan Khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim, yaitu UNFCCC (UN Framework Convention on Climate Change). Conference of the Parties (COP) dari badan itu pada tahun 1997 telah menghasilkan kesepakatan internasional untuk memanajemeni perubahan iklim global, dengan dokumen yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Protokol Kyoto berisikan kesepakatan legal pemerintah negara -negara Annex I (pada umumnya negara industri) mengenai target kuantitatif pengurangan emisi gas rumah kaca untuk diterapkan pada periode 2008-2012. Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading), penerapan bersama (JI), pemanfaatan “rosot” (sinks), dan “mekanisme pembangunan bersih” (clean development mechanism). Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan itu. Sektor energi, khususnya kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi) merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2) dan oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut.
Indonesia adalah negara dimana sektor energi memberikan sumbangan besar tak hanya untuk menggerakkan ekonomi nasional, tapi juga dalam menyumbangkan pendapatan langsung dari penjualan produk-produk energi, khususnya bahan bakar fosil. Ekspor minyak bumi, gas bumi dan batubara merupakan sumber utama pendapatan pemerintah sejak lebih 3 dekade yang lalu. Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai hutan–hutan tropis serta garis pantai yang terpanjang di dunia, sehingga perubahan iklim yang akan berpengaruh terhadap pemanasaan global merupakan masalah yang menjadi perhatian negara ini. Indonesia pada dasarnya setuju untuk meratifikassi Protokol Kyoto dan telah membuat sejumlah langkah untuk menyiapkan hal itu.
Protokol Kyoto, khususnya melalui fasilitas mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang disediakannya memungkinkan negara berkembang seperti Indonesia untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk aliran finansial maupun teknologi dari negara maju. Namun demikian, karena dampaknya yang cukup besar terhadap sector energi, Indonesia perlu mempelajari implikasi Protokol Kyoto untuk menentukan masa depan sektor energi, khususnya peluang ekonomi dari perdagangan bahan bakar fosil serta perdagangan karbon nantinya.
Posting Komentar